Konstruksi Sosial, Teknologi, dan Universitas
Ary Mochtar PedjuKompas/01.05.2003 : PUSAT studi teknologi di Twente University of Technology, Belanda, melahirkan temuan baru tentang teknologi. Peserta studi adalah para ilmuwan dari Eropa yang tergabung dalam European Association for the Study of Science and Technology (EASST), juga dari universitas di Inggris dan Amerika.
Hasilnya adalah teori baru tentang proses inovasi dan keberhasilan sebuah teknologi. Pengkajiannya menurut mereka berlangsung dua tahun dalam atmosfer antardisiplin sejati. Yang paling menarik, pemeran kunci dalam penelitian tentang teknologi ini adalah para ilmuwan dari disiplin ilmu-ilmu sosial. Artifak fisik yang dijadikan kasus studi sangat beragam, mulai dari tungku masak tradisional, sepeda, produk kimia, kapal, kelistrikan, sampai produk teknologi akurasi tinggi seperti peluru kendali.
Masyarakat dan teknologi terjalin utuh seperti seamless web. Ini berbeda dengan konsep pendekatan teknologi dari sudut sosial yang tradisional, seperti ilmu sejarah teknologi, sosiologi teknologi, dan filsafat teknologi yang sudah "mapan".
Asumsi sederhana bahwa proses inovasi terdiri dari tahapan basic research, applied research, technological development, production, usage, kini dianggap tidak memadai. Seakan-akan proses selalu berjalan lancar tanpa kegagalan. Kesimpulan mereka, selama ini sebenarnya teknologi tidak dimengerti dengan baik. Teknologi seakan black box, ruang gelap.
Lahir di laboratorium di Belanda, sosiologi teknologi baru ini dipopulerkan oleh MIT Press, melalui buku berjudul The Social Construction of Technological Systems (1994).
Studi ini adalah sebuah contoh menarik jenis sociotechnological research yang berciri antardisiplin dan sangat berguna, bukan hanya bagi ilmu pengetahuan, tetapi terutama untuk memecahkan masalah nyata di masyarakat. Teori ini juga memberi petunjuk, tanggung jawab para ilmuwan sosial sangat besar dalam suatu masyarakat yang ingin mengembangkan kemampuan teknologi.
Thomas Alva Edison (1847-1931)
Dalam studi Twente tersebut, kasus keajaiban Edison adalah contoh sempurna bagaimana fungsi-fungsi dasar harus diciptakan sebagai prasyarat untuk menjamin keberhasilan sebuah proses inovasi teknologi.
Edison mengawali karya-karyanya dengan kegiatan ilmiah; belajar (sendiri) dan meneliti. Ia memiliki laboratorium pribadi sejak umur sangat belia. Ia mewariskan catatan-catatan antardisiplin (!) yang menembus dinding-dinding kategori abstrak seperti sains, teknologi, ekonomi, politik, sosial, hukum, dan manajemen.
Padahal, dalam suatu masyarakat, komponen scientific ini diperankan banyak lembaga seperti universitas, lembaga penelitian, penerbit karya ilmiah, dan pers.
Pada tahap berikut, Edison harus meng-engineer dan mendesain gagasannya sehingga dari ilmuwan sejati ia harus menjadikan dirinya seorang profesional dan memecahkan masalah-masalah antardisiplin di atas, yang secara permanen terus berinteraksi sepanjang proses inovasi.
Problem solving process ini tidak selalu berjalan lancar, kadang harus kembali ke titik awal. Feed back loops seperti ini sering terjadi sepanjang proses.
Setelah mendesain, Edison harus menyediakan sendiri komponen-komponen termasuk mesin pembuatnya sehingga pada tahap ini ia pun harus berfungsi sebagai manufacturer. Seperti halnya di atas, fungsi desain dan manufaktur dalam sebuah masyarakat didukung social groups yang besar ragam dan jumlahnya untuk berbagai jenis teknologi.
Mac Kenzie, salah seorang peneliti di Twente mengatakan, "Successful engineers know that, to be successful they have to engineer more than metal and equations."
Kembali kepada Edison, di ujung hilir ia masih harus membangun dan mengorganisasikan usaha semacam PLN agar teknologi penerangan listriknya dapat masuk ke rumah-rumah pelanggan.
Pada tahun 1882 ia meresmikan stasiun pembangkit listrik pertama lengkap dengan jaringannya. Tentu ia akan berhadapan dan harus menyelesaikan aspek hukum karena jaringan kabelnya pasti melalui ruang publik, di samping peraturan lain tentang kelistrikan.
Masih ada sebuah catatan luar biasa, Edison harus mendirikan perusahaan untuk mendanai seluruh investasinya. Industrialis Edison adalah juga financier. Pada zaman modern sekarang, kita sadar betapa kompleksnya masalah pendanaan ini.
Thomas Hughes menjuluki Edison seorang system builder. Ia telah menciptakan social groups (istilah Bijker) pendukung berhasilnya setiap tahap inovasi teknologinya, dari meja laboratorium sampai bola lampu yang menyala di rumah pelanggan. Ia mengubah masyarakat, tadinya dengan lampu gas, sekarang listrik. Teknologinya akhirnya mengubah masyarakat dunia!
Proses inovasi teknologi serta keberhasilan dan kegagalannya, menurut penulis, dapat disederhanakan dengan sebuah gambar matriks.
Kasus ruwetnya pengembangan teknologi aeronotika (dengan IPTN-nya) di Tanah Air sangat mungkin disebabkan betapa kelompok politik dan teknik berada di depan sendiri dengan meninggalkan jauh di belakang hampir semua kelompok sosial lainnya.
Padahal, salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah "negosiasi" dan "renegosiasi" antarkelompok harus terus-menerus berlangsung sepanjang proses sehingga terjadi konsensus, atau dengan istilah Hughes "hingga reverse salient terkoreksi". Demikian pula nasib teknologi putra nasional kita, pondasi "Cakar Ayam" dan "Sosrobahu", yang seharusnya berkiprah di dunia-setidak-tidaknya di negara-negara berkembang-terasa mandek karena masih mengandung banyak reverse salients yang tidak terkoreksi. Dengan mempelajari rinci keterlibatan social groups sepanjang proses (lihat gambar), secara hipotetis dapat dijelaskan penghambat keberhasilan dua teknologi ini untuk dikoreksi.
Peranan universitas kita
Untuk pengembangan kemampuan teknologi, universitas seharusnya dapat menjadi komponen terdepan. Peranan universitas kita menjadi strategis, tetapi juga kritikal, dalam penciptaan budaya maju masyarakat kita, karena para pemimpin social groups yang membentuk konstruksi sosial yang kompak dapat dilatih di universitas. Bukan saja untuk pembangunan kemampuan teknologi, pembangunan ekonomi Jerman yang berhasil tahun 1909 adalah sebuah contoh.
Walter Rathenau menggambarkan, the entire German economy as functioning like a single machine, ...three hundred men, all acquainted with each other, control the economic destiny of the Continent.
Syarat yang harus dipenuhi oleh universitas adalah dengan kreatif mengaktifkan laboratorium dan pusat studi serta intensif mempelajari dunia nyata. Penelitian antardisiplin (interdisciplinary research) adalah syarat mutlak. Multidisiplin saja tidak cukup. Antardisiplin adalah multidisiplin yang berfungsi simultan bukan sequential.
Menurut hemat penulis, sangat banyak topik dapat diangkat menjadi obyek penelitian, yang hasilnya sangat diperlukan dan akan dibeli dengan mahal oleh begitu banyak lembaga di dalam maupun luar negeri, seperti lembaga pemerintah, dunia industri, lembaga keuangan, dunia pendidikan, penelitian, hukum, teknik, ekonomi, politik, dan LSM.
Bukankah dalam 30-an tahun terakhir, ribuan triliun rupiah telah membiayai pembangunan puluhan ribu "proyek" di negeri ini dalam sekian banyak sektor, di sekian banyak daerah?
Bukankah ilmuwan dan para profesional dari hampir semua disiplin ilmu "ingin tahu" apa yang terjadi pada setiap langkah sepanjang proses pembangunan itu dengan segala dampaknya pada setiap proyek? Penelitian di universitas tidak perlu dimulai dengan mengharapkan belas kasihan atau turunnya dana dari pemerintah. Pasar akan terbuka bila barang yang akan dijual benar-benar dicari pembeli, termasuk masyarakat dunia. Tampaknya masalah utama miskinnya penelitian pada universitas kita bukan karena dana, tetapi kreativitas.
Dengan mengalikan jumlah disiplin ilmu dengan jumlah tahapan dalam pembangunan/inovasi dan dikalikan lagi dengan jumlah dan jenis proyek serta jumlah lokasi proyek, maka ribuan potensi topik penelitian dapat diangkat.
Sangat banyak lembaga nasional dan internasional yang membutuhkan analisis ilmiah dan bahasan profesional tentang kondisi spesifik negara berkembang. Di sinilah peran program pascasarjana (S-2 dan S-3) sebagai satuan strategis dan pendongkrak mutu pendidikan dan "pelayanan kepada masyarakat" dapat dirasakan.
Universitas-universitas maju di dunia telah memberi contoh; letak para pemimpin laboratorium dan pusat studi berada di jajaran teratas dalam (piramida terbalik) "organisasi akademik" universitas.
Penutup
Dalam pembangunan teknologi dan ekonomi nasional, universitas kita seharusnya dapat mengambil peranan kepemimpinan, karena secara teoretis, para tokoh social groups yang relevan dapat disiapkannya. Bahkan langkah selanjutnya, bagaimana harus beroperasi sampai mencapai momentum tingkat tinggi agar konstruksi sosialnya memenuhi syarat functioning like a single machine, universitas pun dapat berperan dengan signifikan.
Ini tentu dengan asumsi bahwa misi universitas dan budaya akademik modern bagi kita tidak lagi merupakan "ruang gelap".
Ary Mochtar Pedju Praktisi, anggota Majelis Penelitian Perguruan Tinggi (MPPT) Depdiknas, alumnus ITB dan MIT-USA