WebMail Forum Agenda Gambar Artikel Download Links
Pendaftaran FAQ
UserID:
Password:
Ingat Password
 Home >> Articles >> Klip berita Media >> Dunia Pendidikan >> Kompas/01.05.2003: Guru, Diperlukan Sekaligus Terabaikan

Title: Kompas/01.05.2003: Guru, Diperlukan Sekaligus Terabaikan

Kompas/01.05.2003 : BANYAK pihak mengakui, guru memegang kunci utama sukses tidaknya pengajaran di sekolah. Memang, faktor guru sebenarnya merupakan salah satu dari lima faktor atau komponen pendidikan yang menentukan. Gedung sekolah boleh menjulang hingga langit biru, ruangan terasa sejuk karena menggunakan mesin pendingin, peralatan laboratorium paling mutakhir, kurikulum paling hebat sedunia, tetapi kalau gurunya mletho, ya sami mawon. Sebaliknya, meski peralatan yang tersedia tidak begitu hebat, fasilitas yang tersedia amat terbatas, tetapi bila ditangani oleh guru yang baik, yang mengerti tugasnya, yang memahami kewajibannya, bisa diharapkan proses belajar-mengajar akan berjalan dengan baik.

BETUL bahwa, dalam dunia pendidikan ada sejumlah komponen yang saling terkait dan saling mengisi. Komponen-komponen itu adalah, pertama, hardware yang meliputi gedung sekolah, ruang kelas, laboratorium, peralatan praktikum, perpustakaan, dan sebagainya. Kedua, software yang mencakup kurikulum, program pengajaran, sistem pembelajaran, dan sebagainya. Ketiga, brainware yang meliputi guru, murid, orangtua murid, kepala sekolah, dan siapa pun yang terkait proses pendidikan. Keempat, netware yang berkaitan dengan jaringan dan kerja sama baik antarguru dengan instansi sekolah, dengan lembaga yang mampu meng-up grade guru, sekolah dengan lembaga pemerintah, dan sebagainya. Kelima, dataware yang mencakup keterangan jumlah murid, jumlah guru, alur lulusan, asal pendidikan guru, kapan mulai mengajar, sudah berapa lama mengajar, dan sebagainya.

"Saya tetap meyakini, peran utama pendidikan ada pada guru. Karena itu, pendidikan guru menjadi amat menentukan. Untuk guru SD, rasanya tidak lagi cukup bila hanya berpendidikan D-3. Dari segi usia, lulusan D-3 itu baru berusia 21 tahun. Kedewasaan macam apa yang bisa didapat. Di depan kelas, ia tidak hanya mengajar, tetapi juga menjadi pendidik," ujar Sr Francesco Marianti, ahli pendidikan yang kini menjadi supervisor di Santa Ursula II Bumi Serpong Damai.

Hal senada juga diungkapkan oleh Toenggoel Siagian, ahli pendidikan yang juga Direktur Perkumpulan Sekolah Kristen Djakarta (PSKD). "Sayang, program diploma untuk guru-guru SD yang dikelola oleh IKIP, ?makin jauh? dari sekolah. IKIP sendiri juga kian jauh dari sekolah. Selama tiga tahun, peserta program D-3 dijejali dengan banyak bahan, dan kesempatan untuk praktik amat kecil, paling hanya satu sampai dua kali. Dulu, anak-anak SPG atau SGA memiliki banyak kesempatan praktik di depan kelas. Sekarang, berapa kali selama tiga tahun?" tanyanya.

TIDAK bisa dimungkiri, perubahan zaman juga mengubah pandangan masyarakat terhadap profesi guru. Di lain pihak, munculnya realitas baru di masyarakat juga ikut mengubah sosok guru. Sosok guru sekarang tidak seperti yang dilukiskan Earl V Pullias dan James D Young, sebagai makhluk serba tahu, serba bisa, dan memiliki wibawa tinggi.

Guru di masa lalu dinilai memiliki kualitas, karakternya kuat, memiliki semangat berkorban untuk masyarakat. Karena itu, para guru di masa lalu juga memiliki peran penting di masyarakat. Paling tidak, mereka sering dianggap berkemampuan membimbing masyarakat. Pendek kata, guru dianggap paling tahu, paling pas diminta nasihat, dan cocok dijadikan pembimbing masyarakat.

Kini? Sosok guru sudah mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman. Dulu guru bisa hidup berkecukupan di tengah masyarakat yang kekurangan. Kini, justru sebaliknya, guru hidup berkekurangan di tengah masyarakat yang kian pandai dan berkecukupan secara ekonomi.

Seiring dengan perkembangan zaman, peran guru pun mengalami reduksi oleh kecenderungan spesialisasi bidang ilmu pengetahuan. Peran guru di masa lalu pun kini sudah diambil alih oleh anggota masyarakat yang dinilai lebih mampu. Guru, kini tidak lagi menjadi "cita-cita luhur". Profesi guru, kini tidak lagi menjadi cita-cita by design, tetapi by condition.

SUDAH hampir menjadi rahasia umum bahwa kini, menjadi guru umumnya bukan karena cita-cita murni, tetapi karena keadaan. Mereka yang masuk lembaga pendidikan guru umumnya bukan berasal dari orang kota, kaya, dan pandai. Mereka yang memasuki lembaga pendidikan guru berasal dari desa atau pinggiran kota, yang tidak memperoleh penempaan dan persiapan di sekolah yang baik.

Sejak dari SD, mereka yang lulus dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari SLTP favorit. Lulusan "kelas dua" terpaksa masuk SLTP yang kurang begitu bermutu.

Ketika lulus SLTP, lulusan dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari SLTA yang baik pula. Sementara lulusan "kelas dua" terpaksa mencari SMU tidak favorit atau sekolah kejuruan.

Begitu pula saat lulus SLTA. Lulusan dengan nilai dan kemampuan terbaik akan mencari perguruan tinggi yang terbaik dan baik pula. "Sisanya" harus rela masuk perguruan tinggi "kelas dua" atau masuk fakultas-fakultas pendidikan.

Mengingat asupan untuk menjadi guru umumnya bukan berasal dari bibit-bibit istimewa, bisa dipastikan hasilnya pun tidak maksimal. Namun, kenyataan menunjukkan, para guru yang sebenarnya bukan berasal dari bibit-bibit hebat inilah yang mendapat tugas dan tanggung jawab amat luar biasa besar, mendidik dan mencerdaskan anak-anak bangsa. Ini merupakan kenyataan atau pil pahit yang harus ditelan bangsa ini.

"Melihat kenyataan ini, ada pertanyaan mendasar yang ingin saya ajukan. Dalam keadaan *****onomian yang sulit ini, berapa banyak yang bisa disisihkan oleh negara untuk pendidikan, terutama pendidikan guru? Yang kedua, dalam keadaan sulit ini, berapa banyak yang mau diinvestasikan negara untuk memajukan pendidikan, terutama pendidikan guru? Pertanyaan ini harus dijawab kalau kita benar-benar concern terhadap pendidikan dan melihat bahwa guru mempunyai peran sentral dalam pendidikan," lanjut Toenggoel Siagian.

MELIHAT "kurangnya bekal" yang diperoleh para guru sebelum mengajar dan minimnya kompetensi yang dimiliki membuat para guru sering kali mengharapkan adanya buku-buku yang bersifat praktis. Tidak heran bila buku-buku yang berisi pertanyaan pilihan ganda (multiple choice) berikut kunci jawaban bisa menjadi "buku pedoman" bagi guru. Dengan mudah, guru bisa mengutipkan soal. Bila jawaban tidak sesuai atau cocok dengan kunci, dengan mudah akan dikatakan salah.

"Ada pertanyaan begini, ?Ketika berdiri di panas terik matahari, apa yang bakal terjadi?? Anak-anak menjawab, ?menjadi lemas?, ?pusing?, dan sebagainya. Tetapi, itu semua disalahkan gurunya karena menurut kunci, bukan itu jawabannya. Jawabannya, ?pingsan?. Lho, bagaimana ini? Haruskah konsep yang salah ini diteruskan dengan mengabadikan kesalahan?" tanya Sr Francesco.

Di lain pihak, keinginan sekolah untuk mengikuti perkembangan zaman sering memaksa sekolah harus mencari tenaga pengajar dari luar, yang justru tidak berasal dari lembaga pendidikan tenaga kependidikan. Sebagai contoh, tuntutan untuk mendapatkan guru Bahasa Inggris yang baik sering memaksa sekolah justru mengimpor guru-guru dari beberapa kursus bahasa Inggris. Begitu pula untuk mengajarkan komputer, terpaksa harus diambil dari lembaga-lembaga yang memang berkompeten. Maklum, kalau itu semua diserahkan kepada guru yang sudah ada, dikhawatirkan pelajaran yang diharapkan bisa memberi bekal para siswa justru tidak terjadi.

"Tetapi, saya tetap berkeyakinan, karena perubahan zaman, pendidikan guru yang hanya D-2 atau D-3 itu tidak lagi memadai. Guru, bagaimanapun harus berpendidikan S-1, dan kalau bisa IP-nya 2,75. Memang harus tinggi. Ini penting, karena di SD, guru harus mengenalkan konsep. Guru harus menghadapi anak-anak, membuat mereka dari tidak bisa menjadi bisa, dari tidak mampu menjadi mampu. Selain itu, di SD, guru juga mulai mengenalkan konsep cara belajar yang benar. Ini penting bagi para siswa yang akan meneruskan ke jenjang pendidikan lebih tinggi," tambah Sr Francesco.

Agaknya, keinginan untuk menaikkan bekal pendidikan bagi calon guru SD didukung banyak pihak meski ada pula yang menentangnya. Dasar pertimbangan yang sering diajukan, penaikan bekal pendidikan bagi calon guru SD, dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan. Perbaikan mutu pendidikan semestinya diawali dengan pendidikan dasar. Dan, guru pada jenjang pendidikan dasar (SD dan SLTP) memegang peran amat sangat penting. Karena itu, kualitas guru harus menjadi prioritas.

Menurut Ki Supriyoko, Menyarjanakan Guru SD (Kompas, 10/10/2002), kebanyakan guru SD dan SLTP ternyata tidak layak mengajar. Meski di antara mereka banyak yang sudah senior dalam pengalaman, tetapi tidak memiliki dukungan pendidikan akademis memadai.

Mengutip data Balitbang Depdiknas (2001) disebutkan, dari 1.054.859 guru SD negeri-termasuk kepala sekolah, guru kelas, guru agama, dan guru penjaskes-hanya 446.827 guru atau 42,4 persen yang layak mengajar. Selebihnya, 608.032 guru atau 57,6 persen tidak layak mengajar. Untuk sekolah swasta, keadaannya lebih "mengerikan". Dari 86.309 guru SD swasta, hanya 34.050 guru atau 39,5 persen yang layak mengajar. Selebihnya, 52.259 guru atau 60,5 persen tidak layak mengajar.

Keadaan di daerah jauh lebih memprihatinkan. Di beberapa daerah, tingkat kelayakan mengajar para guru amat rendah. Di Sulawesi Utara dan Papua, misalnya, guru SD yang layak mengajar hanya sekitar 21 persen dari seluruh guru yang ada.

Angka-angka kelayakan mengajar itu pasti akan "mengecil" bila bidang studi ikut dipertimbangkan. Apalagi, kini banyak SD praktiknya menerapkan guru bidang studi, bukan lagi guru kelas. Dan, lebih parah lagi, banyak guru SD yang ternyata mengajar tidak sesuai dengan disiplin ilmu yang dimiliki. Guru berdisiplin IPS harus mengajar IPA, guru berdisiplin matematika harus mengajar Bahasa Indonesia, dan sebagainya.

Pertanyaannya kini, ke mana arah pendidikan kita? Pendidikan guru macam apa yang kita inginkan? Sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban segera bila kita ingin segera mampu dalam persaingan global. (ton)


Hits: 14
Rating: Rating: 0 Votes: 0 (Rating Scale: 1 = worst, 10 = best)
Added on: March 31 2004
Author/Source: ton/ Kompas
Author's email/website: http://www.kompas.co.id/kompas-cetak/0305/01/PendDN/288167.htm
Posted by: admin
Comments: 0 Comment(s) | Rate this Article


Back

Privacy   laporan Kesalahan © 2002 MaxWebPortal.com All Rights Reserved. MaxWebPortal Snitz Forums Ke baris teratas halaman